My Article

Benarkah Teori Tidak Sama Dengan Praktik?

Oleh Editor
Benarkah Teori Tidak Sama Dengan Praktik?

Oleh: Ricky Virona Martono – Core Faculty PPM School of Management

Ricky Virona Martono

Banyak orang berkomentar “Kalau hanya menerangkan teori seperti itu, saya bisa baca sendiri”. Ingat, menurut UNESCO, hanya 1 dari 1.000 orang dewasa Indonesia yang bersikap bahwa membaca itu menjadi bagian dari hidupnya. Kenyataannya, mereka yang melontarkan komentar seperti tadi tidak pernah membaca meski diberikan bahan bacaan teorinya.

Sebagai bangsa, Indonesia menerima dan menerapkan ilmu pengetahuan dari negara lain (kebanyakan dari Barat dan Jepang) dan perlu menyadari kenyataan bahwa pengetahuan tersebut diciptakan oleh orang-orang yang tumbuh dan terbentuk dengan budaya di negeri mereka (budaya Barat atau Jepang tadi). Sehingga, mereka akan menggunakan pengalaman, cara pikir, sudut pandang, dan budaya mereka untuk merancang sebuah konsep atau teori. Ketika sebuah teori dan pengetahuan dibawa ke Indonesia dengan budaya yang berbeda, sudah pasti tidak sepenuhnya berhasil diterapkan.

Contoh pertama adalah konsep manajemen gaya Amerika yang didasari oleh keadaan alamnya yang menyediakan sumber daya alam berlimpah, daratan yang datar dan luas, dan kehidupan individual. Produk buatan Amerika seperti mobil dan traktor mencerminkan kondisi alam tersebut yaitu ukuran mobil besar, dapat dikendarai menyusuri daratan yang luas, maka mesinnya pun dirancang untuk berkendara dalam waktu lama dengan kapasitas konsumsi bahan bakar yang besar. Kehidupan yang individual tercermin dari tata letak kantor yang memberi batas antar karyawan, dan antara atasan-bawahan dalam bentuk ruang pribadi bagi atasan.

Ketika Perang Dunia II berakhir, Jepang memutuskan belajar mempelajari ilmu manajemen di Amerika. Kenyataannya butuh adaptasi dari ilmu dan produk Amerika untuk diterapkan di Jepang yang kondisi daratannya berbukit-bukit, hamparan tanah tidak luas, sumber daya alam terbatas, dan budayanya yang mengedepankan kebersamaan (collective), bukan individual. Maka produk yang dibuat pun ukurannya lebih kecil dengan konsumsi sumber daya alam lebih irit, dan ruang kantor yang tidak dibatasi antar karyawan dan antara atasan-bawahan.

Perbedaaan konsep atau teori yang dipelajari Jepang disikapi dengan berpikir kritis dan berusaha mengadopsi konsep yang ada dengan kehidupan di negerinya sendiri. Tujuannya untuk kehidupan yang lebih baik.

Contoh kedua adalah ketika perusahaan Google membuka lowongan kerja yang tidak mensyaratkan gelar sarjana, asalkan memiliki keterampilan bidang Komputer. Hal ini memang sesuai jika diterapkan bagi siswa menengah atas di Amerika yang memiliki tingkat literasi dan sangat kritis, sehingga karyawan tersebut mudah dikembangkan kemampuannya untuk jangka panjang.

Kemudian tidak sedikit orang Indonesia yang menangkap bahwa gelar sarjana tidak akan penting lagi. Masalahnya, orang Indonesia dengan tingkat pendidikan tinggi tidak menjamin dirinya memiliki tingkat literasi dan kritis yang disyaratkan oleh Google. Sehingga ketika kita menerapkan sebuah konsep, teori, kondisi di masyarakat yang berbeda, hasilnya sangat mungkin berbeda.

Bertindak dan berpikir kritis di negara maju berbeda dengan masyarakat Indonesia yang tidak kritis (akibat tingkat literasi rendah), sehingga ketika masyarakat Indonesia dihadapkan pada kondisi adanya perbedaan antara teori dan praktik akan muncul sikap acuh, tidak berusaha mencari penyebab perbedaan teori dan praktik, apalagi membuat penyesuaian sebuah konsep/teori dengan kehidupannya sendiri.

Setelah menyimpulkan bahwa teori tidak sama dengan praktik, manusia yang tidak kritis ini meninggalkan tantangan dan merasa dirinya tidak perlu lagi memikirkan dan mencari solusi dari tantangan yang dihadapinya karena sudah merasa bahwa yang salah adalah teorinya, bukan dirinya yang tidak kritis.

Respons dengan menjawab “teori tidak sama dengan praktik” dan mengacuhkan situasi merupakan jawaban paling mudah dan mungkin paling disukai bagi manusia. Namun jawaban sebenarnya adalah kerena kita tidak kritis, tidak berpikir, tidak merasa penasaran: mengapa teori tidak sama dengan praktik?

Menjawab pertanyaan tersebut sama dengan menemukan celah bahwa sebuah teori pun perlu penyesuaian ketika diterapkan ke negeri lain. Disinilah peluang manusia Indonesia mencari celah tersebut, lalu memperbaiki, dan maju dengan konsep baru yang telah disesuaikan dengan kondisi lapangan.

Namun untuk mampu menjawab pertanyaan tersebut perlu tingkat literasi yang tinggi, kemampuan dan kemauan mengkritisi, diskusi, dan semangat belajar yang tinggi, sampai akhirnya tertanam sikap kritis.

Dengan menanamkan sikap kritis, manusia akan mampu membuat perubahan drastis ketika mengubah dirinya sendiri sampai akhirnya mengajukan pertanyaan “Kenapa teorinya tidak sama dengan praktik?”

Ketika sebuah bangsa mampu mencapai tahap tersebut, maka langkah berikutnya adalah membuat teori sendiri atau mengadopsi teori yang ada untuk kehidupannya yang lebih baik.


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved