My Article

Corporate Political Responsibilities

Oleh Editor
Corporate Political Responsibilities
Jusuf Irianto, Guru Besar Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Oleh: Jusuf Irianto, Guru Besar Manajemen SDM Departemen Administrasi Publik FISIP Universitas Airlangga

Jusuf Irianto, Guru Besar Dep. Adm. Publik FISIP Universitas Airlangga, Pengurus MUI Jawa Timur

Dibandingkan dengan istilah tanggung-jawab sosial perusahaan (corporate social responsibility/CSR), istilah tanggung-jawab politik perusahaan (corporate political responsibilities/CPR) kurang populer. Padahal CPR berperan penting mewujudkan tanggung jawab atas kegiatan pengusaha di bidang politik.

Dalam sejarah panggung politik nasional, Harian Republika menyajikan tulisan “Saat Pengusaha Berpolitik” (16 April 2015). Dalam ulasan tersebut tecatat pengusaha terjun ke politik. Pemilik Bakrie Group, yakni Aburizal Bakrie, pernah menjadi petinggi di sebuah partai. Sementara pengusaha lain yakni Hary Tanoesoedibjo, pemilik MNC Group, mendirikan partai politik.

Ada pula sosok pengusaha besar sukses berpolitik, yakni Siswono Yudo Husodo, pernah mencalonkan diri sebagai Wakil Presiden Indonesia pada Pemilu 2004 mendampingi Amien Rais sebagai calon presiden.

Siswono tercatat pernah menjadi menteri di era Orde Baru. Sebelumnya juga menjabat ketua Himpunan Pengusaha Muda Indonesia (1973-1977) dan ketua Persatuan Pengusaha Real Estate Indonesia (1983-1986).

Catatan lain menunjukkan seorang yang lahir dari keluarga pengusaha ternama Sulawesi Selatan yakni Jusuf Kalla, sukses berusaha sekaligus sukses dalam dunia politik hingga mencapai posisi sebagai wakil presiden Republik Indonesia.

Sebagai wakil presiden, Jusuf Kalla pernah meminta agar para pengusaha tidak tergoda terjun ke dunia politik. Menurutnya, pengusaha sebaiknya lebih profesional dalam berbisnis memajukan bangsa tak tergiur mencalonkan diri sebagai bupati/walikota, gubernur, dan lainnya.

Namun, profesi sebagai politisi merupakan hak atau pilihan bagi setiap orang termasuk pengusaha. Bisnis seseorang tetap berjalan dan sukses, sementara aktivitas politik pun terus melenggang hingga ke Senayan menjadi anggota DPR di tingkat pusat, misalnya.

Dalam kabinet Joko Widodo masa presidensi periode kedua pun terdapat beberapa nama pengusaha besar. Sebagai misal, Menteri Riset, Teknologi, Pendidikan, dan Budaya yakni Nadiem Anwar Makarim sebelumnya adalah seorang pengusaha besar yang sukses dalam bisnisnya.

Panggung dunia politik sangat atraktif bagi semua orang. Sebagai politisi di DPR atau jabatan politis lainnya, kewenangan dan kekuasaaan yang melekat di dalam suatu jabatan harus digunakan untuk kepentingan masyarakat. Bisnis dan politik memiliki relasi yang saling menguntungkan.

Setiap kegiatan bisnis membutuhkan kebijakan yang kondusif bagi pengembangan usaha, sementara setiap kebijakan yang dihasilkan melalui proses politik yang dimotori pemerintah dan disyahkan oleh legislatif berfaedah bagi pengusaha dalam rangka memudahkan akses bisnis ke setiap sumber yang memberi keuntungan.

Di sisi lain, pengusaha yang terjun memasuki panggung politik harus menjunjung tinggi norma dan etika politik serta aturan atau regulasi yang berlaku. Dalam dunia politik, seorang pengusaha harus menghindari benturan kepentingan pribadi dan masyarakat.

Benturan Kepentingan

Dalam dunia politik berisiko muncul benturan kepentingan. Posisi dalam jabatan publik rawan penyalahgunaan. Pengusaha yang mendapat amanah dalam jabatan publik dikuatirkan menonjolkan kepentingan bisnisnya dan mengabaikan kepentingan masyarakat.

Godaan benturan kepentingan bisnis-publik (masyarakat) harus dihindari sedini mungkin agar citra pengusaha sebagai politisi tetap terjaga. Bahwa panggung politik adalah wadah memperjuangkan kepentingan masyarakat berorientasi keadilan dan keterbukaan yang berbeda dengan kepentingan bisnis yaitu meraih keuntungan pribadi.

Jabatan, kewenangan, serta kekuasaan politik tak digunakan untuk memenuhi ambisi bisnisnya. Jika kekuasaan politik digunakan untuk kepentingan bisnis maka sangat rawan dengan munculnya berbagai penyimpangan berupa tindak korupsi, kolusi, atau nepotisme (KKN).

Bangsa Indonesia sudah sepakat memberantas KKN hingga sampai ke akarnya. Karena itu, berbagai bentuk modus KKN yang ditengarai dilakukan pihak tertentu masuk dalam dunia politik harus dihapus secara preventif.

Tindakan preventif mencegah berbagai modus KKN sangat penting dilakukan mengingat panggung orkestra politik membutuhkan dana sangat besar. Pengusaha masuk dalam panggung politik butuh dana besar dikuatirkan memengaruhi perilaku yang menyimpang dari norma dan etika selama menjabat.

Benturan kepentingan tatkala pengusaha terlibat politik akan semakin parah merusak citra perusahaan yang telah dirintis dan dibangun lama. Perusahaan yang dikelola politisi dicap buruk karena pragmatis memanfaatkan jabatan yang disandang pemiliknya di pemerintahan.

Di Indonesia dikenal pula dengan keberadaan konglomerat tajir dengan sumber keuangan berlimpah. Para konglomerat memang tidak secara langsung terjun ke politik namun aktif dalam kegiatan partai politik.

Konglomerat mengeluarkan dana untuk membiayai partai tertentu. Aksi ini memengaruhi kader partai untuk tunduk pada political will atau ambisi pengusaha sehingga memunculkan fenomena konglomerasi politik. Dalam jangka pendek, fenomena konglomerasi politik menciptakan arogansi dalam politik yang mengabaikan kepentingan rakyat.

Benturan kepentingan bisnis-politik sangat berbahaya. Konglomerasi dalam politik dapat menjadi sumber kegaduhan politik dan menghambat perkembangan demokrasi yang sudah menjadi harapan untuk diwujudkan di Indonesia.

Guna menghidari benturan kepentingan, sudah saatnya bagi semua kalangan untuk mulai mengenal dan menegakkan nilai-nilai dalam tanggung jawab politik perusahaan (CPR).

Tanggung Jawab Politik

Dalam tulisannya bertajuk The Importance of Corporate Political Responsibility yang diterbitkan MIT Sloan Management Review, Andrew Winston, Elizabeth Doty, dan Thomas Lyon (2022) menegaskan betapa penting peran CPR bagi pengusaha yang memasuki dunia politik.

Menurut mereka, CPR merupakan perspektif atau pandangan lebih luas daripada CSR yang selama ini telah dikenal. CPR berfokus pada dampak aksi pengusaha dalam politik yang memengaruhi empat bidang yakni regulasi alias aturan main, lembaga dan representasi warga, masyarakat dan wacana publik, serta sistem alam dan sumber daya.

Keempat bidang tersebut diharapkan mampu membantu pengusaha berpolitik dengan memikirkan ulang atas semua dampak dari aksi politik agar dapat mempertahankan dan membangun kapasitas dalam kondisi masyarakat yang bersifat semakin kritis.

Pertama, pengusaha yang berpolitik harus memahami dan menegakkan aturan permainan pasar yang sehat (healthy market rules of the game). Bahwa kebijakan, peraturan, perpajakan, dan peluang investasi dibuka untuk menyelaraskan kepentingan pribadi dengan publik yang lebih luas.

Pengusaha dalam berpolitik bertanggung jawab atas serangkaian lobi dan aksi yang dapat memengaruhi keputusan politik. Pengusaha harus mampu memperjuangkan aturan main yang tak sekadar memberi keuntungan jangka panjang bagi bisnis namun juga bagi masyarakat luas. Bahwa aksi dan lobi bukan untuk sekadar keuntungan jangka pendek bagi perusahaan politisi.

Bidang kedua adalah lembaga kemasyarakatan yang sehat (healthy civic institutions). Di dalam lembaga sebagai representasi masyarakat terjadi proses pemilihan wakil rakyat, pengesahan undang-undang, dan penetapan peraturan, sesuai prinsip demokrasi perwakilan.

Pengeluaran politik (political spending) yang dilakukan pengusaha sebagai aksi dalam dunia politik harus menjunjung tinggi norma dan etika. Pengaruh pengusaha yang berpolitik dirahkan untuk mendukung dan melindungi demokrasi, supremasi hukum, kebebasan sipil, dan institusi sipil yang efektif dan akuntabel. Bukan malah sebaliknya.

Dalam bidang kedua ini, pengusaha dituntut pula menumbuhkan kepercayaan lebih besar dari masyarakat yang telah memilihnya dalam proses demokrasi (pemilihan umum, pilihan kepala daerah, atau proses politik lainnya) sebagai pemegang amanah rakyat untuk suatu jabatan politis tertentu.

Sedangkan bidang ketiga adalah wacana sipil yang sehat (healthy civil discourse). Setiap pengusaha yang berpolitik menunjukkan komitmen kuat menjamin warga berpartisipasi dalam kehidupan secara aktif serta meyampaikan aspirasi sebagai pertimbangan membuat keputusan.

Dalam kehidupan masyarakat sipil yang sehat terbuka pula bagi media, media sosial, dan organisasi kemasyarakatan memberi data atau informasi yang dapat digunakan sebagai rujukan dalam setiap pengambilan kebijakan atau keputusan yang memengaruhi kehidupan masyarakat.

Pengusaha harus memberi kontribusi bagi masyarakat melalui kebijakan dengan itikad baik, memberikan data atau informasi akurat, dan menghormati keberagaman, kesetaraan, dan keterbukaan sebagaimana diidealkan dalam format masyarakat madani (civil society).

Adapun bidang keempat dalam bingkai CPR untuk menghindari benturan kepentingan antara bisnis-politik adalah sistem alam dan sumber daya masyarakat yang sehat (healthy natural systems and societal resources).

Sistem alam dan sumber daya termasuk modal manusia (social capital), keuangan, dan infrastruktur menentukan kualitas hidup masyarakat. Di samping itu, upaya peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat pun dapat dicapai lebih efektif melalui kebijakan yang tepat.

Para pengusaha sebagai politisi atau pejabat publik secara tidak langsung didorong untuk merumuskan kebijakan sesuai kepentingan masyarakat dengan mengorbankan kepentingan diri semata demi membangun kesejahteraan masyarakat.

Pengaruh kebijakan yang dibuat berkontribusi terhadap pelestarian sumber daya alam dan memperkuat kehidupan sosial yang semakin kohesif melalui penguatan modal sosial dan ekonomi yang terus berkembang secara berkelanjutan.

Kini, saatnya pengusaha memikirkan ulang motivasi atau intensi berpolitik sehingga dunia bisnis tetap berjalan dengan aman sementara panggung politik terhidar dari perbuatan tercela melalui penegakan CPR.

Referensi:

Andrew Winston, Elizabeth Doty, & Thomas Lyon. (2022). The Importance of Corporate Political Responsibility. Retrieved from:

https://sloanreview.mit.edu/article/the-importance-of-corporate-political-responsibility/

Saat Pengusaha Berpolitik. Republika. 16 Apr 2015. Retrieved from: https://www.republika.co.id/berita/nmw94f23/saat-pengusaha-berpolitik


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved