Technology Trends

Pasar Keuangan Digital Indonesia Diprediksi Jadi Terbesar di ASEAN

Aadarsh Baijal Partner and Head of Vector in Southeast Asia Bain & Company. (foto Ubaidillah/SWA)

Indonesia diperkirakan menjadi pasar pembayaran digital terbesar di Asia Tenggara, dengan proyeksi Gross Transaction Value (GTV) kurang lebih US$$760 miliar pada tahun 2030. Pembayaran digital telah mengalami pertumbuhan stabil sebesar 10%, menjadi US$313 miliar per tahun 2023.

Laporan e-Conomy SEA terbaru oleh Google, Temasek, dan Bain & Company mengungkapkan pinjaman digital diyakini akan terus tumbuh dengan nilai sebesar US$15 miliar pada 2025, lebih dari dua kali lipat proyeksi nilai tahun 2023 yang US$6 miliar. Dengan semakin ketatnya persaingan di antara pemain layanan keuangan digital (digital financial service atau DFS), bisnis pure-play fintech telah memperluas layanan pinjaman mereka ke segmen yang selama ini lebih mengandalkan jasa keuangan non-bank.

Sementara itu, dengan sigap, bank tradisional pun mulai mengalihkan basis pelanggan utama mereka ke layanan digital. Sehingga eksistensi bank konvensional tidak kalah saing dengan bank-bank digital atau DFS yang baru akhir-akhir ini hadir.

Aadarsh Baijal selaku Partner and Head of Vector in Southeast Asia Bain & Company mengatakania terkejut ekonomi digital Asia Tenggara terus mencatatkan pertumbuhan dua digit, sementara Indonesia diperkirakan mencapai GMV US$110 miliar pada 2025. Hal ini menunjukkan bahwa ekonomi digital Asia Tenggara memang tangguh, dan bahwa para pemain kuncinya telah melangkah menuju unit economics yang lebih sehat dan model bisnis yang berkelanjutan.

“Ekonomi digital Indonesia tetap menjadi yang terbesar dan paling beragam di Asia Tenggara. Selain pasar pembayaran digital yang terus berkembang, kami percaya bahwa perilaku offline-to-online yang ada akan semakin menggenjot sektor layanan keuangan digital dan mendorong pertumbuhan yang signifikan di sektor pinjaman dan kekayaan,” kata Aadarsh dalam konferensi pers di kantor Google Indonesia, Selasa (07/11/2023).

Di sisi lain, pendanaan privat di Asia Tenggara, termasuk Indonesia, mencapai level terendah dalam enam tahun terakhir, mengikuti tren global yang menunjukkan peningkatan biaya modal dan tantangan di sepanjang siklus pendanaan. Di Indonesia, seperti juga di negara Asia Tenggara lain, pendanaan privat turun sebesar 87% pada paruh pertama tahun 2023 dibandingkan periode yang sama pada tahun 2022.

Fock Wai Hoong, Head of Southeast Asia Temasek menjelaskan bahwa tantangan yang dihadapi antara lain koreksi valuasi secara umum setelah naik bertubi-tubi selama tahun 2021, ketidakpastian profitabilitas di beberapa perusahaan, dan kurang kondusifnya situasi pasar modal, yang dapat menyulitkan investor untuk melakukan exit.

Walaupun investor kian selektif dalam menanamkan modal di kawasan ini, cadangan dana (dry powder) di Asia Tenggara masih menggembung menjadi $15,7 miliar pada akhir tahun 2022, dari $12,4 miliar pada tahun 2021. Hal ini mengindikasikan adanya ‘bahan bakar’ yang diperlukan untuk mendorong pertumbuhan lebih lanjut ekonomi digital di kawasan ini.

Untuk Indonesia sendiri, penurunan paling kecil terjadi pada pendanaan tahap awal. Layanan keuangan digital tetap menjadi sektor investasi utama karena potensi monetisasinya yang tinggi. Sektor-sektor baru juga mengalami kenaikan investasi, yang menandakan bahwa investor ingin melakukan diversifikasi portofolio mereka.

“Ekonomi digital Indonesia terus menawarkan peluang investasi yang menarik karena fundamentalnya yang kuat, seperti pertumbuhan populasi tenaga kerja, peningkatan pendapatan konsumen, dan ekosistem startup teknologi yang dinamis. Temasek tetap optimistis terhadap masa depan ekonomi digital Asia Tenggara dan akan terus mengerahkan modal katalisator untuk mencapai pertumbuhan yang berkelanjutan dan inklusif,” kata Fock.

Indonesia telah mencatatkan kemajuan yang signifikan dalam partisipasi digital selama beberapa tahun terakhir, termasuk dengan adopsi QRIS serta peningkatan penggunaan transfer bank dan kartu kredit, yang membuat pembayaran digital lebih mudah. Indonesia juga merupakan pasar smartphone dengan pertumbuhan terpesat di Asia Tenggara, dengan 80% penduduknya memiliki smartphone.

Lebih dari 70% dari nilai transaksi ekonomi digital di Asia Tenggara berasal dari 30% pembelanja teratas. Di Indonesia, jumlah pembelanjaan dari pengguna bernilai tinggi (High-Value User, HVU) tercatat 6,8x lebih besar jika dibandingkan non-HVU, khususnya untuk hal-hal seperti perjalanan dan bahan makanan. Indonesia juga memiliki rasio pembelanjaan HVU tertinggi untuk sektor perjalanan di Asia Tenggara, yaitu 10,4x lebih tinggi dibandingkan non-HVU.

“HVU memang dapat ditemukan baik di wilayah metro maupun non-metro di Indonesia. Namun, ketimpangan antara permintaan dan penawaran di wilayah non-metro terlihat bertambah besar. Masyarakat di sana juga terancam risiko kesenjangan ekonomi akibat kurangnya partisipasi digital – keterlibatan aktif dalam ekonomi digital melalui konsumsi produk atau layanan di berbagai sektor,” kata Randy Jusuf Managing Director Google Indonesia.

Menurut Randy, wilayah non-metro menjadi rentan, karena adanya tantangan ekonomi dalam menyediakan layanan digital serta rendahnya daya beli masyarakat di sana. Mengatasi kesenjangan ini merupakan tanggung jawab bersama seluruh pemangku kepentingan ekonomi digital. “Dengan mengatasi penghambat partisipasi digital bagi seluruh masyarakat, GMV ekonomi digital Indonesia berpotensi meningkat dua atau tiga kali lipat, menjadi US$210 sampai US$$360 miliar pada tahun 2030,” ujarnya.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved