Column

Filosofi Jalan Kaki (2)

Oleh Editor
Filosofi Jalan Kaki (2)
Ilustrasi jalan kaki (Foto Istimewa).

Tulisan saya di Pernik (SWA Edisi 19, Oktober 2021) mengenai filosofi jalan kaki mendapatkan banyak tanggapan pembaca. Ini karena saya mengirimkan tulisan tersebut ke 30 grup WhatsApp yang saya ikuti. Dalam beberapa bulan terakhir saya memang banyak bicara mengenai jalan kaki yang selalu saya selipkan dalam berbagai talkshow dan seminar saya. Saya memang berniat untuk menggugah banyak orang mengenai jalan kaki yang mudah, murah, dan menyehatkan.

Secara umum, ada empat jenis tanggapan yang saya terima. Pertama adalah mereka yang merasa kesulitan untuk menemukan tempat yang tepat. “Kalau berjalan di jalan raya, agak sulit, banyak kendaraan lalu lalang. Selain itu, juga banyak jalanan yang berlubang. Kita harus ekstra hati-hati,” demikian kata seorang teman.

Teman lain menimpali, “Belum lagi polusi dan kualitas udara yang kurang baik.” Yang ingin mereka katakan adalah: sulit untuk melakukan hal ini karena fasilitas kurang mendukung.

Secara umum alasan tersebut masuk akal. Saya sendiri termasuk orang yang diuntungkan karena tinggal di kompleks yang cukup permai dan tidak ramai. Di kompleks ini, hanya ada 300-an rumah. Jalanan di kompleks pun hanya dilalui para penghuni sehingga tidak ramai.

Nah, untuk berjalan sekali putaran di kompleks ini, kita akan menempuh jarak 2 kilometer. Setiap hari saya berjalan kaki sebanyak lima putaran saja, jadi sejauh 10 km. Kalau weekend, saya tambah satu putaran lagi menjadi 12 km. Dengan adanya ukuran-ukuran ini, kondisinya boleh dibilang cukup ideal bagi saya.

Namun, kalau dipikir lebih jauh, soal tempat ideal sesungguhnya hanyalah alasan. Buktinya, banyak juga orang yang tinggal di kompleks tetapi tidak juga mulai berjalan kaki.

Saya saja yang sudah tinggal di kompleks ini lebih dari 15 tahun baru belakangan ini konsisten berjalan kaki. Dari dulu ke mana aja? Demikian mungkin kata Anda. Namun, memang demikianlah kenyataannya.

Pepatah lama bilang: Di mana ada kemauan, di situ ada jalan. Teman saya yang tidak tinggal di kompleks sering menyiasati dengan berjalan kaki di kompleks terdekat. Teman-teman yang lain pergi ke Gelora Bung Karno atau ke Pantai Indah Kapuk. Intinya, semua itu bisa disiasati asalkan ada niat dan kemauan.

Tanggapan kedua adalah soal waktu. Mereka yang menggunakan alasan ini selalu bilang, “Saya sangat sibuk bekerja, tak ada waktu untuk jalan kaki.” Hehehe…, saya dulunya juga paling senang menggunakan alasan ini.

Namun, apa yang terjadi selama tujuh bulan terakhir membuat saya terheran-heran sendiri. Ternyata, saya bisa meluangkan waktu sampai 12 jam per minggu untuk urusan jalan kaki ini (2 jam per hari selama 6 hari). Dari mana datangnya waktu yang sebanyak itu? Saya juga tidak tahu.

Kalau memulai dari ketersediaan waktu, jawabannya selalu: saya tidak punya waktu. Namun, kalau saya memulainya dari “Saya ingin jalan kaki,” waktu itu datang dengan sendirinya. Ternyata, masalahnya lebih pada mindset.

Waktu sesungguhnya sangat bisa kita siasati. Ada teman yang ke kantor naik mobil, kemudian turun di jalan yang cukup aman dan berjalan kaki, sementara sopir membawa mobilnya ke kantor. Teman lain yang menggunakan kendaraan umum turun dua halte lebih awal agar punya kesempatan jalan kaki ke kantor. Jadi, waktu itu sangat relatif. Yang lebih penting adalah niat dan kemauan.

Tanggapan ketiga, sulit untuk melakukannya dengan konsisten. Tanggapan ini berasal dari mereka yang sudah berjalan kaki tapi hanya melakukannya sekali-sekali saja. Ini terjadi karena hal ini belum menjadi sebuah kebiasaan.

Ketika sesuatu belum menjadi kebiasaan, tantangannya sungguh besar. Namun, ketika sesuatu itu sudah menjadi bagian dari diri kita, akan timbul rasa sayang ketika tidak melakukannya. Inilah yang saya rasakan dengan berjalan kaki. Bahkan, saya mungkin sudah sampai pada level addiction (ketagihan). Saya bahkan sering merasa kecewa kalau suatu pagi saya tak bisa berjalan kaki karena hujan.

Tanggapan keempat terkait dengan tidak adanya yang menemani. Seorang teman bercerita bahwa ia hanya mau jalan kaki kalau istrinya menemani. Ini tentu wajar. Melakukan aktivitas bersama-sama pasti akan lebih menarik. Namun, ini sesungguhnya hanya dibutuhkan di awalnya.

Ketika memulai kebiasaan jalan kaki, saya menciptakan mekanisme saling menyemangati dengan istri. Kami pun bertukar peran: kalau aku tidak semangat, kamu menjadi penyemangatku. Begitu juga sebaliknya. Saya kira Anda pun perlu mencoba strategi saya ini. Namun percayalah, ini terjadi di awalnya saja. Setelah menjadi kebiasaan, tak ada lagi yang bisa menghalangi Anda.

Jadi, kapan Anda akan memulai jalan kaki? Mungkin Anda malah bertanya, mengapa saya begitu ngotot memengaruhi Anda agar melakukan hal ini?

Tentu saja, karena kesehatan itu sangat penting. Supaya sehat kita harus berolahraga, tetapi untuk bisa berolahraga, kendalanya sangat banyak. Karena itu, saya menyarankan sesuatu yang murah, mudah, dan bisa dilakukan oleh siapa pun. Persoalannya hanya pada niat. If it is important to you, you will find a way. If not, you will find an excuse. (*)

Arvan Pradiansyah *) Motivator Nasional & Pegiat Jalan Kaki

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved