Book Review

Memahami Penularan dalam Berbagai Bentuknya

Oleh Editor

Judul : The Rules of Contagion: Why Things Spread and Why They Stop

Penulis : Adam Kucharski

Penerbit : Profile Books

Cetakan : Pertama, 2020

Tebal : 341 halaman

Yang menarik, walaupun terbit di tengah situasi pandemi, buku ini tidak hanya membahas masalah penularan penyakit, tetapi juga banyak ragam penularan yang lain, seperti kabar yang cepat viral, tindak kekerasan yang cepat menyebar, virus komputer yang marak, serta pasar keuangan yang bergejolak dan menular dengan cepat ke berbagai negara. Bukan hanya itu, kegemukan (obesitas), merokok, kesepian, dan menguap ternyata juga bisa menular dan dibahas dalam buku ini.

Memang secara sepintas lalu, ketika kita berbicara tentang penularan (contagion), pikiran kita dengan cepat akan tertuju pada penularan penyakit menular seperti Covid-19 yang kita hadapi saat ini. Padahal, dalam kenyataannya penularan dapat memiliki beragam bentuk.

Penularan dapat mengambil bentuk yang dapat membawa kerugian atau penderitaan, seperti penularan penyakit, virus komputer, tindak kekerasan, atau krisis ekonomi. Namun, penularan juga bisa mengambil bentuk yang menguntungkan, misalnya penularan mode pakaian, inovasi, atau budaya tertentu. Bisa dimulai dengan sesuatu yang berwujud kebendaan seperti virus atau suatu ide dan keyakinan yang lebih abstrak, yang bisa dengan cepat tersebar secara meluas dan memengaruhi banyak bidang kehidupan.

Dengan mengeksplorasi berbagai bentuk penularan di berbagai area kehidupan, kita berharap bisa menemukan pola-pola tertentu terkait hal apa saja yang membuat sesuatu dapat menyebar dengan cepat dan mengapa menyebar seperti itu, serta mencari cara bagaimana menghentikan jenis penularan yang negatif. Menggunakan berbagai gagasan yang tumbuh dan berkembang di satu area kehidupan dapat dipakai untuk membantu memahami apa yang terjadi di area kehidupan yang lain agar saling melengkapi.

Hingga saat ini, berbagai pola penularan yang terjadi masih terus diteliti dan dipelajari. Masih merupakan teka-teki besar tentang cara membaca, memahami, dan memperkirakan bagaimana berbagai penularan ini bisa muncul, berkembang, dan kemudian menurun. Ini tentunya menghadirkan kegairahan, rasa ingin tahu, bahkan ketakutan tersendiri yang mendorong kita untuk lebih jauh mendalami masalah penularan ini. Pemahaman ini diperlukan agar pada suatu ketika, kita dapat mengambil kendali terhadap masalah penularan ini, apa pun bentuknya itu.

Sepintas lalu ketika melihat berbagai bentuk penularan yang terjadi, terlihat seakan-akan tidak saling berkaitan antara penularan dalam krisis perbankan, kekerasan bersenjata, berita bohong, evolusi penyakit, dan sebagainya. Walaupun terlihat berbeda, berbagai penularan itu secara umum memiliki empat tahap utama. Diawali dari munculnya percikan, masuk dalam tahap pertumbuhan, mencapai titik puncak, dan kemudian berlanjut ke tahap penurunan.

Dasar pandangan yang dipakai untuk merancang berbagai model penularan berasal dari studi klasik yang dilakukan oleh Ronald Ross, seorang dokter dari Inggris, penerima Nobel bidang kedokteran yang berkecimpung di bidang pemberantasan penyakit malaria di awal abad ke-20. Teori ini mengemukakan bahwa pada tahap awal sejumlah orang akan terinfeksi dan penularan tumbuh secara eksponensial, mulai dari satu kasus kemudian akan berkembang dengan sangat cepat. Namun, kemudian pada titik tertentu, pertumbuhan akan berhenti, orang yang tertular menurun, dan kemudian penularan hilang.

Tahapan seperti itu ternyata tidak hanya berlaku untuk penyakit tetapi juga untuk berbagai fenomena lainnya. Contoh yang gampang adalah fenomena kecanduan batu akik yang pernah melanda Indonesia beberapa tahun lalu. Awalnya, peminat batu akik tumbuh dengan sangat cepat, hingga semakin banyak orang yang tergila-gila dengan batu akik. Namun, ketika sudah banyak sekali orang menjadi peminat batu akik, justru tingkat kecanduan akan batu akik itu kemudian menurun pelan-pelan, dan akhirnya kembali ke tingkat yang sama dengan sebelum terjadinya demam batu akik.

Ditarik dari bidang penularan penyakit, dapat diajukan pertanyaan: mengapa suatu epidemi bisa berakhir? Di bidang penularan penyakit, transmisi penyakit berakhir karena di sana tidak ada lagi orang rentan yang bisa terinfeksi, entah karena kekebalan tubuhnya sudah kuat, atau telah ada vaksin yang membantu memperkuat kekebalan seseorang, atau penyebab penyakit itu sendiri sudah melemah sehingga menjadi tidak terlalu berbahaya lagi.

Teori yang dikemukakan oleh Ronald Ross pada 1916 yang dikenal dengan Theory of Happening itu telah berkembang dan mengalami berbagai modifikasi hingga sekarang. Teori ini mampu membantu kita dalam menganalisis berbagai pola atau model penularan yang terjadi, baik penularan penyakit maupun penularan perilaku sosial dalam berbagai aspek: ekonomi, sosial, dan politik.

Dalam bidang yang tidak berhubungan dengan penyakit, terdapat kesamaan antara wabah penyakit dan penyebaran tindak kejahatan. Keduanya sama-sama memiliki masa inkubasi yang kita sering tidak dapat melihat gejalanya dengan jelas. Jika kita bisa melihat gejala kekerasan secara lebih awal, tindak kekerasan dapat lebih mudah dicegah. Di sini, kemampuan untuk memahami interaksi yang terjadi antarmanusia adalah kunci untuk mengendalikan penularan yang terjadi.

Dalam bidang yang lain lagi, salah satu bentuk penularan yang paling cepat, mudah, murah, dan gampang diamati adalah penyebaran berita di media sosial. Di medsos, berdasarkan penelitian di MIT, ditemukan bahwa kabar palsu menyebar lebih cepat dan lebih meluas dibandingkan dengan kabar yang benar.

Tingkat kebaruan (novelty) suatu berita mungkin juga mengambil peran dalam hal ini. Orang cenderung lebih suka menyebarkan berita baru, dan secara umum berita palsu memang biasanya lebih memiliki kebaruan daripada berita yang sebenarnya. Namun, semakin cepat berita palsu tersebut dapat ditanggapi atau dilawan, semakin berkurang daya penyebarannya. Karena itu, kewaspadaan terhadap berita palsu perlu ditingkatkan agar dapat melawan penyebaran berita palsu itu dengan secepat mungkin.

Untuk dapat menangani dan memprediksi penularan semacam virus flu, misalnya, kita perlu memiliki pemahaman yang lebih baik tentang bagaimana virus tersebut tumbuh dan berkembang, bagaimana perilaku seseorang dalam berinteraksi, dan bagaimana suatu populasi membangun kekebalan bagi dirinya.

Ada yang agak menjengkelkan dari studi tentang penularan ini, khususnya penularan penyakit. Sering terjadi suatu kondisi ketika kita mulai serius untuk meneliti kasus penularan yang terjadi, kasus penularannya telah menurun atau terhenti, seperti yang terjadi di China sekarang. Ini merupakan hal yang biasa terjadi dalam penelitian tentang wabah. Ketika tingkat penularan berhenti, pertanyaan mendasar tentang wabah ternyata belum bisa terjawab sepenuhnya. Ini mendatangkan rasa frustasi tersendiri.

Maka, dalam masalah wabah ini, membangun kapasitas riset jangka panjang merupakan hal yang esensial. Ini merupakan hal yang penting karena penyakit lupa juga bisa sering menular. Pandemi seperti ini pernah terjadi 100 tahun yang lalu dalam wujud flu Spanyol dan memakan korban yang sangat besar. Namun, kita semua sepertinya lupa untuk mempelajarinya secara mendalam dan mempersiapkan prosedur dan infrastruktur yang memadai agar kejadian serupa tidak terulang lagi. Ketika wabah Covid-19 melanda seluruh dunia, banyak negara yang belum siap mengatasinya, seakan-akan semuanya harus belajar dari nol kembali, padahal hal yang sama pernah terjadi di masa lampau.

Data harus dikumpulkan dari banyak sumber dan disiplin keilmuan. Para peneliti penyakit saat ini telah mengombinasikan berbagai data dari berbagai bidang keilmuan, perilaku manusia, kekebalan komunitas, dan evaluasi patogen untuk menyelidiki wabah yang sulit dipahami. Sekali lagi, jika masalah ini hanya dilihat dari masing-masing disiplin keilmuan, pastilah akan terlihat banyak kekurangannya. Namun, dengan melihat dari berbagai sisi yang berbeda seperti yang telah dilakukan oleh penulis buku ini, dapat diungkapkan gambar yang lebih lengkap tentang pola penularan yang terjadi.

Kita juga harus dapat sejenak melihat ke belakang untuk melihat apa yang sekiranya terjadi di masa lampau. Dari melihat cermin di masa lalu kemudian mencoba melihat masa depan. Tujuannya, mengubah apa yang akan terjadi di masa depan, agar pengalaman buruk yang telah terjadi di masa lampau tidak terjadi atau terulang lagi di masa depan.

Eko Widodo

*) Peresensi adalah Dosen Magister Administrasi Bisnis, Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya, Jakarta.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved