Book Review

Menerawang Nasib Pekerjaan Manusia di Masa Depan

Oleh Editor

Judul : A World Without Work: Technology, Automation and How We Should Respond

Penulis : Daniel Susskind

Penerbit : Allen Lane, Penguin Books

Cetakan : Pertama, 2020

Tebal : 325 hlm

Teknologi bisa mengubah segalanya. Pada 1890-an, Kota New York dan London pernah mengalami krisis yang dikenal dengan sebutan “the great manure crisis”. Sebutan itu merujuk pada menumpuknya kotoran kuda di seluruh penjuru kota dan hampir menenggelamkan kota tersebut. Kota menjadi kotor dan penuh penyakit. Pejabat kota sampai hilang akal untuk mengatasi hal ini.

Pada masa itu, kuda memang merupakan alat transportasi utama di seluruh penjuru negeri. Namun pada 1920-an, krisis itu hilang dengan sendirinya, ketika alat transportasi utama digantikan mobil. Kuda dengan cepat tersingkir oleh mesin yang lebih kuat, cepat, praktis, dan murah. Hal yang sama bukannya tidak mungkin terjadi: di suatu masa, manusia juga bisa tersingkir oleh mesin, seperti halnya kuda yang pernah mendominasi di masa lampau.

Pertanyaan besar yang diajukan dalam buku ini adalah ketika mesin atau teknologi yang berkembang semakin canggih dan penggunaannya semakin masif, akankah masih tersisa cukup pekerjaan yang bisa dilakukan manusia di masa depan? Memang kekhawatiran ini selalu muncul di sepanjang masa, bahkan bisa terjadi ketika berada dalam kondisi pertumbuhan ekonomi yang tinggi.

Memang benar, selama ini banyak pekerjaan manusia yang telah digantikan oleh teknologi. Namun di saat yang sama, selalu muncul lebih banyak jenis pekerjaan baru, sehingga terjadinya pengangguran yang diakibatkan oleh kemunculan teknologi baru (technological unemployment) dapat dihindari.

Namun, tesis utama yang dibawa buku ini hendak mengatakan bahwa jenis teknologi yang dihadapi manusia saat ini berbeda dengan yang terjadi di masa lampau, sehingga manusia layak untuk mulai mengkhawatirkannya. Banyak hal yang terjadi di masa lampau tidak bisa dijadikan patokan lagi, karena kita tidak lagi berada di zaman dominasi tenaga kerja manusia (the age of labour). Zaman di mana kemajuan yang dibawa teknologi secara umum membawa lebih banyak keuntungan bagi pekerja dibandingkan kerugiannya.

Di masa lampau pekerjaan manusia tidak serta-merta hilang karena teknologi yang ada tidaklah menggantikan pekerjaan manusia, melainkan melengkapi dan membantu pekerjaan yang dilakukan manusia. Ini yang menjadikan jenis dan jumlah pekerjaan manusia lebih meningkat. Namun, dari masa sekarang hingga ke depan, pertarungan antara mesin dan manusia dalam memperebutkan pekerjaan yang ada mulai memasuki arena yang berbeda.

Seperti halnya kemampuan manusia, mesin juga mengalami evolusi untuk menjadi semakin sempurna. Hal itu terjadi secara pelan tetapi pasti, mengambil alih semakin banyak pekerjaan manusia. Sehingga, manusia pada suatu ketika akan semakin tersingkir. Semakin ke sini, semakin banyak pekerjaan yang bisa digantikan oleh teknologi dengan hasil yang lebih baik.

Pada 2014, Pew Research Center melakukan survei mengenai aktivitas yang hanya bisa dilakukan manusia, seperti empati, kreativitas, aktivitas menilai, atau berpikir kritis. Bahkan, hal-hal itu dikatakan tidak akan pernah dapat digantikan oleh mesin.

Namun, kenyataannya sekarang, mesin semakin memiliki kemampuan untuk menggantikan apa saja yang dulu dianggap hanya bisa dilakukan manusia. Zaman tenaga kerja manusia telah berakhir seiring dengan semakin meningkatnya kemampuan mesin dalam melakukan berbagai tugasnya. Tiga kemampuan utama manusia –melakukan pekerjaan manual, berpikir, dan punya afeksi– telah mampu dimiliki mesin dengan hasil yang lebih baik.

Mengenai kemampuan manual, telah banyak contoh yang bisa diberikan. Misalnya, mengukir kayu, sekarang bisa dengan lebih cepat, murah, dan mudah dilakukan oleh mesin. Dalam bidang kognitif, contohnya: mesin sekarang telah bisa memutuskan mana nasabah yang layak dapat pinjaman mana yang tidak; di bidang kedokteran, mesin mampu mendiagnosis penyakit kanker secara lebih cepat dan akurat. Dalam bidang afeksi, contohnya: perangkat pengenalan wajah telah mampu mengenali apakah wajah seseorang sedang sedih, senang, atau galau.

Menurut Daniel Susskind, teknologi di masa depan akan cenderung menggantikan, bukan lagi sekedar melengkapi dan membantu pekerjaan yang dilakukan manusia. Ada tiga hal yang menyebabkannya, yaitu ketidaksesuaian keterampilan yang dibutuhkan (mismatch of skill), ketidaksesuaian identitas yang diinginkan (mismatch of identity), dan ketidaksesuaian tempat (mismatch of place).

Ketidaksesuaian keterampilan muncul karena untuk banyak pekerjaan, mesin atau teknologi memiliki kemampuan yang semakin jauh lebih unggul daripada manusia. Kemampuan yang dibutuhkan sekarang jauh lebih kompleks dan rumit. Butuh waktu bertahun-tahun bagi manusia normal untuk mempelajarinya. Tidak semua orang memiliki cukup kemampuan dan waktu untuk mempelajarinya. Kesenjangan antara tuntutan teknologi dan kemampuan yang bisa dimiliki manusia semakin jauh. Ini mengakibatkan orang akan lebih memilih mesin untuk melakukan pekerjaan yang diperlukan.

Ketidaksesuaian identitas terjadi karena semakin sedikit jenis pekerjaan yang bisa dilakukan manusia dengan efisien. Dalam kondisi ini, banyak orang memilih menganggur daripada melakukan pekerjaan yang tidak sesuai dengan keinginan atau identitasnya. Banyak orang yang berpendidikan tinggi, tetapi memilih menggangur daripada melakukan pekerjaan yang menurut mereka merupakan pekerjaan kasar, sehingga pekerjaan yang tersedia dialihkan ke tenaga mesin.

Ketidaksesuaian tempat terjadi ketika antara pekerjaan yang tersedia dan tempat kerjanya tidaklah sesuai. Misalnya, di Jakarta butuh pekerjaan yang banyak, tetapi karena tempatnya jauh dan macet, orang lebih suka bekerja di daerah. Sehingga, pekerjaan yang ada di Jakarta akan diambil alih oleh mesin.

Respons awal yang biasanya dilakukan menghadapi kondisi perkembangan dan perubahan teknologi yang semakin cepat dan kompleks ini adalah dengan melakukan tindakan belajar secara berkelanjutan di sepanjang hayat agar dapat selalu beradaptasi dengan perubahan yang terjadi. Manusia harus mampu berulang kali belajar hal yang baru di sepanjang hidupnya agar selalu bisa menyesuaikan diri dengan perkembangan dan perubahan teknologi yang ada. Namun, pendekatan untuk memberi orang lebih banyak pendidikan semacam ini ternyata makin lama makin kurang efektif dalam menangani permasalahan yang ada.

Kemampuan teknologi untuk tumbuh selalu lebih cepat dibandingkan kemampuan manusia untuk beradaptasi dengan hal yang baru. Dewasa ini aktivitas utama bidang pendidikan adalah mempersiapkan peserta didik agar nantinya dapat memperoleh pekerjaan. Namun, jika pada akhirnya tidak ada pekerjaan lagi karena pekerjaan yang ada telah digantikan oleh mesin, kita perlu mulai meredefinisi ulang tujuan lembaga pendidikan didirikan.

Dominasi mesin yang semakin besar dalam pekerjaan manusia berpotensi mendatangkan berbagai masalah. Ada tiga masalah utama yang terkait dengan dinamika antara pekerjaan dan teknologi saat ini. Pertama, masalah ketidaksetaraan (inequality): ada yang menjadi semakin kaya, tetapi ada yang menjadi semakin miskin karena tergantikan oleh teknologi dan tidak mampu beradaptasi dengannya.

Kedua, masalah siapa yang berhak dan berwenang mengatur dan mengendalikan teknologi yang ada. Jika muncul masalah, siapa yang bertanggung jawab atas pengunaan teknologi itu dan akibat yang ditimbulkannya.

Ketiga, masalah makna kerja. Kerja bagi manusia bukan semata masalah mendapatkan penghasilan, tetapi lebih dari itu, menyangkut hakikat dan tujuan hidup manusia. Pekerjaan yang dimiliki, atau alasan seseorang bekerja, bukanlah untuk kepentingan ekonomi semata. Bekerja bukan sekadar untuk memperoleh pendapatan, tetapi bekerja juga menjadikan manusia yang bekerja akan memiliki arti, tujuan, dan arah hidup dengan baik. Arti hidup menjadi hilang ketika suatu pekerjaan sudah tidak ada dan digantikan oleh mesin. Pada hakikatnya hidup yang kita jalani selama ini berputar pada masalah kerja, yang terdiri dari kegiatan mempersiapkan pekerjaan, menjalankan pekerjaan, dan pensiun dari pekerjaan. Kerja merupakan komponen penting dalam hidup manusia.

Untuk mencegah terjadinya pengangguran yang diakibatkan oleh teknologi, negara bisa mengeluarkan serangkaian aturan yang mengharuskan teknologi yang dikembangkan adalah teknologi yang membantu manusia, bukannya yang menggantikan manusia. Namun di sisi lain, kenyataan yang dihadapi sekarang, kekuatan negara menjadi semakin lemah ketika dihadapkan pada kekuatan perusahaan, khususnya perusahaan yang memiliki teknologi tinggi. Sebab, di segala ranah kehidupan saat ini, peran perusahaan teknologi semakin besar, semakin berpengaruh, dan semakin sulit dikendalikan.

Negara harus menjadi penyeimbang dengan melihat rakyat sebagai warga negara (citizen) dalam masyarakat, bukan sebagai pelanggan (consumer). Negara perlu mengantisipasi hal ini dalam merancang kebijakan di masa depan, agar masyarakat lebih terlindungi di tengah gelombang dominasi mesin dan teknologi yang semakin tinggi. (*)

Eko Widodo*) Penulis adalah Staf Pengajar Program Studi Magister Administrasi Bisnis Fakultas Ilmu Administrasi Bisnis dan Ilmu Komunikasi, Unika Atma Jaya.

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved