Management

Di Balik Vaksin Covid-19 Pfizer

Albert Bourla. COO Pfizer (Foto: fiercepharma.com).
Albert Bourla. CEO Pfizer (Foto: fiercepharma.com).

Hidup kiranya begitu cepat berputar bagi seorang Albert Bourla. Januari 2018, dia dipromosikan sebagai COO Pfizer setelah sebelumnya menjabat sebagai Group President Pfizer Innovative Health. Setahun kemudian, Januari 2019, posisinya melompat tinggi, menggantikan Ian Read di kursi puncak (CEO). Lewat 14 bulan, dia memimpin pertempuran besar-besaran melawan Covid-19. Sebuah tantangan yang tidak mudah. Dunia memandangnya, mengharap vaksin lahir dari perusahaan yang dipimpinnya.

Covid-19 diakui Bourla masuk dalam radar Pfizer pada Januari 2020 begitu mereka mendengar laporan tentang gangguan pernapasan dan gelombang kematian di Wuhan, China. Sebagai perusahaan yang sudah lama menaruh perhatian besar pada penyakit infeksi dan penelitian vaksin, Bourla segera memperhatikan isu ini dengan seksama. Bulan berikutnya, Februari, instingnya bicara. Dia makin yakin virus ini akan segera menyebar ke seantero bumi. “Dan kami tahu, Pfizer akan memainkan peran penting dalam menghentikannya,” ujarnya.

Sementara Bourla tengah mencermati, di tempat berbeda, Jerman, Uğur Şahin dan istrinya, Özlem Türeci, juga mengamati perkembangan ini dengan tak kalah perhatian. Namun, para pemilik perusahaan bioteknologi BioNTech ini punya satu keyakinan: teknologi yang tengah mereka kembangkan untuk flu, messengerRNA (mRNA), dapat diaplikasikan menjadi vaksin Covid-19. Mereka ingin terlibat. Namun, mereka sadar tak punya kemampuan besar guna menjawab tantangan yang ada. BioNTech baru berusia 12 tahun. Mereka butuh aliansi dengan raksasa global.

Şahin dan Türeci adalah ilmuwan. Mereka anak-anak imigran Turki yang besar dan menimba ilmu di sekolah-sekolah ternama di Jerman. Pada 2001, keduanya mendirikan perusahaan pertama mereka, Ganymed Pharmaceuticals GmbH, untuk mengembangkan perawatan antibodi. Türeci menjadi CEO, sementara Sahin bertanggung jawab atas penelitian. Tujuh tahun kemudian, bersama Christop Huber, mereka mendirikan BioNTech.

Di tengah situasi yang berkembang makin mengkhawatirkan, pada 1 Maret 2020 keduanya memutuskan menemui Kathrin Jansen, Kepala R&D Vaksin di Pfizer. Suami-istri ini bertanya apakah mungkin Pfizer tertarik melakukan kemitraan dengan mereka untuk menguji kandidat vaksin yang tengah dikembangkan di BioNTech.

Jansen segera melapor kepada atasannya. “Tentu saja, kami sangat tertarik! Kelemahan yang ada adalah belum ada vaksin mRNA yang telah disetujui uji klinisnya,” ungkap Bourla. Realitas yang lain adalah secara tradisional membuat vaksin bisa berbulan-bulan, bahkan tahunan. Belum dihitung masuk ke proses manufacturing-nya.

Sewaktu mereka berupaya membahas kolaborasi, penyakit dari Wuhan ini ternyata makin tak terkendali. Pada 11 Maret 2020, setelah WHO mendeklarasikan pandemi, Bourla dan suami-istri Şahin dan Türeci bekerja makin cepat. Mereka sepakat berbagi insight dan tools antara kedua pihak seperti viral screening data dan analysis, termasuk berbagi SDM, khususnya ahli virus, ahli biologi, ahli kimia, ahli klinis, dan epidemiolog. Pfizer juga menawarkan kapabilitas manufakturnya untuk digunakan.

Pada 16 Maret 2020, para eksekutif Pfizer dan BioNTech bertemu serta sepakat untuk menindaklanjuti pengembangan vaksin. Kedua pihak pun menandatangani kesepakatan kerjasama. BioNTech berkomitmen berbagi teknologi mRNA yang inovatif dengan kapabilitas Pfizer di bidang riset, regulasi, manufaktur, dan distribusi yang sudah terkenal moncer. Mereka juga sepakat untuk menyeleksi sebanyak mungkin kandidat vaksin secara paralel ketimbang menguji satu vaksin yang menjanjikan.

Dana yang dibutuhkan, sekitar US$ 3 miliar. Bourla mengungkap bahwa biasanya pengembangan vaksin membutuhkan US$ 1 miliar-2 miliar dalam waktu yang lama, hingga 10 tahun. Itu normalnya. “Tetapi, kami tidak ingin keputusan kami saat itu dibuat dengan dorongan financial return saja. Menyelamatkan kehidupan sesegera mungkin menjadi prioritas kami,” katanya.

“Secara finansial, ini sangat berisiko. Kami juga menolak bantuan keuangan dari pemerintah,” lelaki 59 tahun kelahiran Yunani itu menambahkan. Mengapa? “Kami ingin membebaskan para ilmuwan kami dari birokrasi dan melindungi dari perlambatan yang tak perlu,” katanya.

Maka, mulailah pacuan besar itu. Bourla mem-push timnya, begitu pun Şahin dan Türeci di Jerman. Hal yang membuat optimisme merebak di antara mereka adalah vaksin mRNA dibuat secara sintesis, menggunakan kode genetik patogennya sehingga berpotensi bisa dilakukan lebih cepat.

Pada 19 Maret 2020, Bourla menantang karyawannya untuk membuat apa yang disebutnya “make the impossible possible”. Yang dimaksudkannya adalah mengembangkan vaksin lebih cepat dibandingkan yang pernah dilakukan orang lain sebelumnya. Persisnya, dia meminta vaksin bisa dihasilkan dalam waktu enam bulan. Atau, sebelum lembaran kalender 2020 disobek.

Dalam tekanan waktu yang tinggi, kolaborasi Pfizer-BioNTech berjalan baik. Tim vaksin kedua perusahaan bertemu lewat Webex setiap Senin dan Kamis di luar pertemuan khusus yang digelar teratur.

Pada 12 April 2020, dari 20 kandidat vaksin, akhirnya mengerucut pada empat calon. Normalnya, mereka harus melakukan pengujian pada hewan dalam jumlah besar sebelum mulai menguji fase 1 pada manusia, yang melibatkan 20-100 partisipan dan butuh beberapa bulan. Namun, karena kedaruratan, Bourla dan timnya meminta izin Food and Drug Administration (FDA) Amerika Serikat serta regulator Jerman (Paul Ehrlich Institute) untuk melakukan tahap pengujian itu berbarengan (hewan dan manusia).

Bulan berikutnya, dimulailah tes demi tes itu. Pacuan yang menegangkan.

Ya, jangan dikira semua berjalan mudah dan mulus. Bourla adalah tipikal bos yang demanding. Di hadapan para ilmuwannya, dia terbiasa untuk tidak cepat merasa puas ketika mengamati presentasi kemajuan yang ada.

“Nggak cukup bagus,” ujar Bourla saat dia merasa tidak puas. Biasanya wajah para peneliti pun memerah. Kendati mengucapkan terima kasih, atas kerja keras mereka, Bourla tetap menuntut timnya bekerja lebih keras lagi. “Coba deh berpikir dengan cara berbeda,” ujarnya.

“Dia memang menantang tim dengan target tinggi, mencetak vaksin dalam jutaan dosis sebelum akhir tahun,” Mikael Dolsten, Chief Scientific Officer Pfizer, mengomentari bosnya. Hal ini sering terjadi.

Bourla mengaku dirinya memang sangat berhati-hati sehingga menuntut kerja keras. Dia tahu timnya telah bekerja sangat keras, lembur lebih lama dari yang biasanya. Namun, dia menyebut kultur yang ingin ditanamkannya adalah mentalitas patient first (pasien yang utama). “Untuk menciptakan long-term value, kami fokus pada seluruh stakeholder, bukan hanya shareholders. Kami memajang foto-foto pasien di dinding untuk mengingatkan karyawan dan para eksekutif kami tentang arti penting ini,” paparnya (Harvard Business Review, Mei-Juni 2021).

Sepanjang hidupnya, dokter hewan dari Aristotle University of Thessaloniki, Yunani, ini mengaku selalu menempatkan dirinya berada di ujung: sebagai pengguna akhir produk. Itulah juga yang didorongnya kepada tim riset. Lelaki yang sudah 25 tahun di Pfizer ini meminta tim vaksin Covid-19 benar-benar mengadopsi mentalitas patient first, mengukur khasiat pada manusia (atau hewan) ketimbang sekadar menjual produk demi meraup cuan.

Jatuh-bangun ini akhirnya terbayar. Pada 8 November 2020, pagi itu, pukul 11.00, Bourla bersama sejumlah eksekutifnya berkumpul untuk mendengarkan apakah peneliti, ilmuwan, pengelola uji klinis, bagian produksi, dan ahli logistik sudah bersama-sama mencapai tujuan yang ditetapkan pada Maret 2020.

Bourla mengaku deg-degan. “Ketegangan sangat tinggi,” dia mengenang. Lewat tiga jam menanti dengan perasaan tak keruan, kabar yang ditunggu akhirnya tiba pada pukul 14.00. Yolanda Lyle, Chief Staff Pfizer, mendapat pesan. Isinya: para peneliti di Pearl River, New York, pusat penelitian Pfizer, ingin melakukan video conference menggunakan Webex.

Mereka yang awalnya tegang, sontak mulai cair begitu melihat aura positif dari para peneliti yang tampil di layar monitor. Para peneliti tampak tersenyum semringah. Mereka menginformasikan efficacy rate vaksin Pfizer mencapai 95,6%. Kegembiraan pun sontak menguar. Kerja keras terbayar. Pada Desember 2020, 74 juta dosis vaksin pertama dibuat, dan 46 juta sudah dirilis. Kini, diharapkan 300 juta dosis akan segera didistribusikan.

Keberhasilan Pfizer, diakui Bourla, merupakan kisah yang mengandung beberapa hal yang menarik untuk dijadikan pelajaran. Yang pertama, tentu saja kerjasama antara Pfizer dan BioNTech. Komitmen kedua pihak sangat besar. Dalam konteks Pfizer, mereka tak pernah memproduksi vaksin mRNA sebelumnya. Ini milik BioNTech. Pfizer harus membeli mesin formula mRNA, menginstalnya di pabrik Michigan, Massachussetts, dan Belgia. “Ini adalah hasil kerjasama tim. Tanpa pengorbanan besar, tak akan tercapai. Berbulan-bulan anggota tim tidak libur dan melihat keluarganya. Saya berutang banyak pada mereka,” ungkap Bourla.

Yang kedua, meletakkan tujuan mulia sebagai hal yang harus dikejar lebih dulu. Return on investment, Bourla mengatakan secara diplomatis, tak menjadi pertimbangan utama ketika mereka memutuskan masuk gelanggang penelitian dan pembuatan vaksin.

“Saat sebelum vaksin diproduksi dan didistribusikan seperti sekarang, keputusan kami adalah melakukan hal benar yang berharga. Sektor swasta punya tanggung jawab untuk membantu menjawab masalah di masyarakat. Jika tidak melakukan itu, kita tak punya masa depan,” tuturnya.

Berikutnya, yang ketiga, adalah keberanian mematok target yang tinggi (moon-shot challenges). Bourla ingat ketika pertama kali meminta pengembangan vaksin berjalan selama enam bulan, para ilmuwan di Pfizer merasa tidak percaya. Begitu pun ketika dia meminta tim supply untuk menemukan cara agar bisa memproduksi dan mengirim vaksin dalam suhu dingin seperti di Kutub Utara, mereka berpikir itu sangat sulit. Namun, ternyata itu bisa dilakukan.

Yang keempat, pentingnya berpikir out of the box. Pertengahan 2020, tim berkumpul dengan beragam ide untuk mulai mencari cara terbaik untuk pengembangan vaksin. Dalam setiap kesempatan Bourla selalu menguji. Dia terus meminta tim mencari jalan terbaru dari yang sudah ada. “Sebab, apa yang kami lakukan sebelumnya tidak membangun realitas baru,” katanya. Kalau ada satu, dua, tiga pilihan, dia akan meminta yang kelima, keenam, dan selanjutnya sampai puas.

Adapun yang kelima, Bourla lalu menegaskan bahwa kesuksesan Pfizer dalam kontribusi vaksin Covid-19 adalah mengisolasi para ilmuwan dari urusan uang dan membebaskannya dari birokrasi yang berlebihan. Dia membebaskan para ilmuwan Pfizer dari kekhawatiran terbentur anggaran yang terbatas. “Dan karena kami tak mendapat uang sedikit pun dari Pemerintah AS dan Jerman, kami tak perlu melaporkan atau menjelaskan keputusan kami. Kami hanya subjek yang dipelototi regulator (FDA dan Paul Ehrlich Institute),” dia menegaskan.

Pelajaran dari keberhasilan Pfizer dan BioNTech memang menarik. Namun, tampaknya perjalanan masih akan panjang mengingat Covid-19 telah berkembang menjadi beragam varian. Ini jelas tantangan baru bagi Bourla dan timnya. Sejauh ini, yang bikin mereka layak bangga adalah dalam melawan varian Delta, efikasi Pfizer mencapai 87,8%, jauh di atas vaksin lain seperti Astra Zeneca (65,5%). Mentalitas patient first menunjukkan hasilnya. (*)

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved