Technology zkumparan

Warung Tegal Kharisma Bahari, Kelola 260 Jaringan Warteg di Jabodetabek

Warung Tegal Kharisma Bahari, Kelola 260 Jaringan Warteg di Jabodetabek
Sayudi, pemilik Warung Tegal (warteg) Kharisma Bahari
Sayudi, pemilik Warung Tegal (warteg) Kharisma Bahari

Warung Tegal (warteg) Kharisma Bahari yang biasa disingkat WKB didirikan Sayudi pada tahun 2000. Bagi Sayudi yang hanya lulusan sekolah dasar, sebenarnya sudah sejak 1997 ia menggeluti bisnis warteg. Namun, barulah tiga tahun kemudian, ia tertarik mengembangkan jaringan agar menjadi identitas warteg yang diingat pelanggan.

Nama “Kharisma” dilatarbelakangi kondisi saat Sayudi ingin menyewa tempat, banyak pemilik bangunan yang memilih untuk tidak menyewakannya bagi pebisnis warteg. Hal ini karena citra warteg yang dipandang kumuh. Maka, Sayudi pun ingin mengubah citra warteg agar bisa lebih berkharisma sehingga bisa lebih mudah mendapatkan akses ke penyewaan lokasi yang strategis. Adapun nama “Bahari” merupakan slogan Kota Tegal.

Selama ini, persepsi orang terhadap warteg biasanya: harga murah-meriah dan menyasar kelas menengah-bawah. “Standar warung kami adalah 10×4 m2. Saat ini jumlah WKB sudah mencapai 260 dan sudah tersebar di daerah Jabodetabek. Jargon WKB adalah ‘Kami siap me-warteg-kan Jabodetabek’,” ujar pria kelairan 21 Juli 1973 itu.

Sejauh ini, warteg milik Sayudi ada 10 dan ada 250 warteg milik franchisee. “Saya menerapkan sistem jual-putus. Jadi, selanjutnya tidak akan ada royalti apa pun dari franchisee kepada internal WKB,” katanya. Hal inilah yang membuat banyak yang tertarik dengan WKB. “Jadi, saya tidak meminta royalti kepada setiap franchisee sepeser pun dan modal awalnya relatif paling ringan dibandingkan dengan bisnis franchise lain. Setiap prosesnya saya permudah,” ungkapnya.

Dalam prosesnya, setelah deal dengan calon franchisee dan telah menentukan lokasi yang tepat dibuat warteg, Sayudi akan mengajak rekannya dari daerah Tegal untuk menjadi pengelola warteg tersebut. Rata-rata, pengelola setiap warteg milik franchisee adalah pasangan suami-istri dengan rentang umur 30-50 tahun dan nantinya mereka bisa tinggal di warteg tersebut. Pembagian profitnya, 50% untuk franchisee dan 50% untuk pengelola warteg. Itu semua setelah dikurangi seluruh biaya produksi, sewa tempat, dll. “Sekitar 80% yang menjadi franchisee WKB adalah orang-orang yang sudah menjelang masa pensiun dari pekerjaannya,” katanya menginformasikan.

Hal yang berbeda dengan aturan sistem franchisee lain adalah di WKB ada perjanjian setiap pengelola warteg membayar kepada internal WKB sebesar Rp 300 ribu per bulan. Uang tersebut akan disimpan dan nantinya akan menjadi dana santunan jika ada pengelola warteg yang sakit, meninggal, kecelakaan, atau hal-hal yang tak terduga lainnya. Selain itu, dana tersebut juga bisa digunakan sebagai dana halalbihalal bagi setiap pengelola warteg WKB. “Sejauh ini saya bersama enam orang yang menjadi bagian tim internal WKB, dan kami rutin menyelenggarakan acara silaturahmi bersama pengelola warteg, baik hanya sekadar kumpul-kumpul, arisan, maupun komunikasi di grup WhatsApp,” katanya.

Aturan lainnya adalah franchisee diperbolehkan membuka beberapa warteg WKB. Namun, pengelola warteg hanya boleh mengelola satu warteg, tidak boleh lebih. Hal ini dilakukan untuk menjaga fokus pengelola warteg dan kualitas merek WKB. Sejauh ini ada satu franchisee yang memiliki delapan warteg dan ini merupakan yang terbanyak.

Adapun untuk bahan baku masakan, setiap pengelola warteg dibebaskan untuk membeli di pasar yang terdekat dengan warungnya. “Bahan baku juga tidak saya berikan standardisasi karena sayuran yang ada di pasar itu rata-rata dalam kondisi yang fresh,” katanya.

Sejatinya WKB memiliki aturan yang fleksibel. Bahkan, tempat pun bisa dibantu dicarikan. Besar atau kecilnya tempat akan dianalisis dulu, karena nantinya akan berpengaruh terhadap harga yang harus dibayarkan franchisee. Biasanya harga standar yang ditetapkan pihaknya bagi franchisee yang ingin bergabung adalah senilai Rp 120 juta yang dibayarkan hanya di awal. Nilai itu di luar sewa tempat dan tim WKB tidak meminta biaya apa pun setelahnya. “Pada intinya, saya tidak ingin membebani setiap pengelola karena saya sudah tahu bagaimana lika-liku bisnis warteg ini sejak dulu kala,” Sayudi mengungkapkan.

Sebelum mendirikan WKB, Sayudi pernah memberikan kredit bagi pengelola jika ada yang mau membuka warteg sendiri. Per bulannya pun tidak dipatok harus bayar berapa dan jangka waktu pembayaran pun tidak ditentukan. “Jika ada hal tak terduga seperti penggusuran, kami pun akan membuat lunas kreditnya,” katanya. Kondisi ini berpengaruh ketika WKB didirikan yang membuatnya berkembang hingga seperti sekarang. “Intinya, kami tidak ingin membebani franchisee maupun pengelolanya,” ujarnya menegaskan.

Saat ini, warteg WKB yang penjualannya tinggi adalah yang berada di Mampang, Cijantung, Pondok Gede, dan Taman Mini Jakarta. Biasanya, omset yang standar bisa mencapai Rp 1,5 juta per hari. Lalu, jika wartegnya ramai dikunjungi pelanggan, omsetnya bisa mencapai Rp 2 juta-3 juta per hari, dan yang sangat ramai bisa mencapai Rp 4 juta-7 juta per hari. Maka, pihaknya harus sangat selektif dalam memilih lokasi. Sejauh ini, yang paling besar kontribusinya adalah yang berada di Jakarta Selatan.

Selain WKB, Sayudi juga memiliki satu merek lain bernama warteg Mamoka Bahari. Saat ini, Mamoka sudah memiliki 23 cabang, antara lain di daerah Fatmawati, tersebar di Depok, Jakarta Timur, dan Bekasi yang seluruhnya dimiliki franchisee. Konsep yang ditawarkannya berbeda. Misalnya, di Mamoka, setiap Jumat ditawarkan paket makan sepuasnya dengan harga Rp 10 ribu, dari pukul 11 hingga 14 siang. Khusus ojek online juga akan ada potongan Rp 2 ribu. “Saya sedang mencoba penggunaan pembayaran nontunai, namun sampai saat ini belum efektif meskipun sudah banyak bank yang menawarkan kerjasama dengan kami,” kata Sayudi yang sekarang sering menjadi pembicara di seminar, acara televisi, dll.

Sekarang, Sayudi melihat dari tahun ke tahun peminat bisnis warteg semakin meningkat. Itu sebabnya, ia mengajak seluruh pengelola warteg agar jangan terus-menerus mengikutinya, tetapi harus bisa membangun brand atau membuka warteg sendiri. “Keberhasilan bisnis WKB ini juga berasal dari perbincangan dari mulut ke mulut saja, sehingga saya dikenal di daerah saya. Saya ingin menunjukkan ke setiap orang bahwa untuk sukses itu tidak mesti mengikuti yang sudah ada, namun menjadi dirinya sendiri adalah hal yang paling penting,” katanya mengajak. Ke depan, ia juga tidak menargetkan harus ekspansi seberapa banyak lagi tahun ini atau ke depannya. Yang jelas, target Sayudi adalah membangun warteg sebanyak mungkin. (*)

Dede Suryadi dan Chandra Maulana

www.swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved