Automotive

Insentif Kendaraan Listrik untuk UMKM, Akademisi: Tidak Tepat Sasaran

Ilustrasi motor lsitrik.

Pemerintah pada Maret 2023 ini resmi menerapkan kebijakan program bantuan pemerintah atau insentif untuk kendaraan bermotor listrik berbasis baterai. Program ini bertujuan untuk mendorong percepatan adopsi kendaraan bermotor listrik berbasis baterai di tanah Air. Sasaran insentif motor listrik adalah pelaku Usaha Menengah Kecil dan Mikro (UMKM).

Dalam Peraturan Presiden Nomor 55 Tahun 2019 tentang Percepatan Program Kendaraan Bermotor Listrik Berbasis Baterai (KBLBB), disebutkan percepatan program KBLBB didorong dalam rangka peningkatan efisiensi energi, ketahanan energi, konservasi energi sektor transportasi, serta terwujudnya energi bersih, kualitas udara bersih, dan ramah lingkungan, terpenting adalah mengurangi ketergantungan pada impor bahan bakar minyak (BBM).

Dari sisi pengguna, konversi motor konvensional ke motor listrik diharapkan bisa menghemat pengeluaran lebih kurang Rp 2,77 juta per tahun. Dari pihak pemerintah juga ada penghematan Rp 32,7 miliar per tahun dari kompensasi BBM Pertalite.

Mengomentari insentif kendaraan listrik untuk UMKM tersebut, Akademisi Prodi Teknik Sipil Unika Soegijapranata Djoko Setijowarno menegaskan bahwa sejatinya, pelaku UMKM tidak butuh motor listrik, tetapi membutuhkan tambahan modal, akses pasar, dan pelatihan SDM untuk pengembangan usahanya. Saat ini, setiap pelaku UMKM sudah memiliki sepeda motor, bahkan lebih dari satu motor dalam rumah tangganya.

“Bahkan orang yang hidup di kolong jembatan pun sudah memiliki sepeda motor. Jelas tidak tepat sasaran,” kata Djoko yang juga Wakil Ketua Bidang Penguatan dan Pengembangan Kewilayahan Masyarakat Transportasi Indonesia (MTI) kepada SWA Online, Senin (29/05/2023).

Djoko memperkirakan, tujuan pemerintah memberikan insentif untuk pembelian sepeda motor listrik sepertinya lebih untuk menolong industri sepeda motor listrik yang sudah terlanjur berinvestasi dan berproduksi, tetapi pangsa pasarnya masih sangat kecil, sehingga perlu diberikan insentif. Jika dicermati, tambah Djoko, program insentif kendaraan listrik ini memang tidak memiliki aturan atau kewajiban bagi pembeli kendaraan listrik untuk melepas kepemilikan kendaraan berbahan bakar minyak yang mereka miliki.

“Insentif itu jangan sampai akhirnya justru dinikmati orang yang tidak berhak atau orang kaya serta memicu kemacetan di perkotaan. Selain akan menambah kemacetan, juga akan menimbulkan kesemrawutan lalu lintas dan menyumbang jumlah kecelakaan lalu lintas yang semakin meningkat,” katanya.

Djoko menilai, harapan program ini bisa mengurangi konsumsi BBM dan menekan emisi karbon berpotensi jauh panggang dari api. Justru yang terjadi adalah penambahan konsumsi energi dan makin bertambahnya kendaraan pribadi yang berjejal di jalan. Sedangkan pihak yang akan diuntungkan dari program ini hanya kalangan produsen kendaraan listrik.

“Program bantuan pemerintah atau insentif untuk kendaraan bermotor listrik akan lebih banyak menguntungkan kalangan produsen kendaraan listrik. Secara tidak langsung, program ini menjadi cara pemerintah untuk menjaga investasi kendaraan listrik di Indonesia dan mencoba menarik investor baru,” ujarnya.

Warga yang bisa beli motor adalah kelompok orang mampu, sehingga tidak perlu diberikan subsidi atau insentif. Sekitar 80%n kecelakaan disebabkan oleh sepeda motor. Pemerintah harus mampu mengurangi penggunaan sepeda motor yang berlebihan. Jika tidak, dampaknya sudah seperti sekarang.

Pemerintah, tambah Djoko, perlu belajar dengan Pemkab. Asmat (Provinsi Papua Selatan), sejak 2007 masyarakat Kota Agats sudah menggunakan kendaraan listrik. Kesulitan mendapatkan BBM menjadikan masyarakatnya mayoritas memakai sepeda motor listrik. Ojek listrik sudah lebih dulu ada di Asmat daripada di Jakarta.

Maka dari itu, insentif sepeda motor listrik seharusnya diprioritaskan untuk daerah terluar, tertinggal, terdepan dan pedalaman (3TP) yang kebanyakan berada di luar Jawa. Di daerah 3TP umumnya jumlah sepeda motor masih sedikit, pasokan BBM juga masih sulit dan minim sehingga harga BBM cenderung mahal. Sementara energi listrik masih bisa didapatkan dengan lebih murah dan diupayakan dari energi baru.

Untuk mobil listrik, prioritasnya juga jangan untuk kendaraan pribadi, tetapi untuk kendaraan dinas kementerian atau lembaga dan pemerintah daerah sehingga distribusinya lebih merata. Di samping itu, pemberian insentif kendaraan listrik lebih tepat diberikan pada perusahaan angkutan umum.

“Di samping akan mendorong pengembangan industri kendaraan listrik, juga dapat memperbaiki pelayanan angkutan umum dengan sarana transportasi yang lebih ramah lingkungan sekaligus mengurangi kemacetan. Hal ini mesti menjadi perhatian agar jangan sampai nantinya justru terjadi penambahan konsumsi energi dan populasi kendaraan pribadi kian berjejalan di jalan raya, sehingga menimbulkan kemacetan,” katanya.

Ada keuntungan yang didapat seandainya bantuan untuk mendorong pengembangan industri kendaraan listrik diberikan kepada angkutan umum. Dengan memberikan subsidi kepada perusahaan angkutan umum dapat memperbaiki pelayanan angkutan umum dengan sarana transportasi yang lebih ramah lingkungan (menekan emisi udara) sekaligus mereduksi kemacetan. Selain itu dapat menurunkan angka kecelakaan dan angka inflasi di daerah.

“Pertumbuhan industri otomotif tak pelak memiliki beragam dampak. Segenap solusi dan alternatif pendekatan kiranya perlu terus dicari di tengah kelindan permasalahan menyangkut upaya menurunkan emisi hingga kemacetan. Kebijakan insentif kendaraan listrik diperlukan sinergi antara Kementerian Perhubungan, Kementerian Perindustrian dan Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral agar tepat sasaran,” ujar Djoko menutup keterangannya.

Editor : Eva Martha Rahayu

Swa.co.id


© 2023-2024 SWA Media Inc.

All Right Reserved